Di sekolah kehidupan pula saya belajar bahwa secara praktik barangsiapa yang pernah berbohong; atau pernah ingkar janji; atau pernah mengkhianati kepercayaan orang lain, memenuhi syarat untuk disebut munafik. Sebab kawan-kawan muslim mengajarkan kepada saya bahwa tiga ciri manusia munafik adalah: apabila ia berbicara, ia bohong; apabila ia berjanji, ia ingkar; dan apabila ia diberi kepercayaan [amanah], ia berkhianat. Dan saya merasa bahwa penjelasan mengenai tiga ciri kemunafikan itu begitu operasional dan praktis.
Sedemikian operasionalnya pengertian orang munafik di atas, maka setiap orang langsung dapat menjawab apakah ia PERNAH munafik, KADANG-KADANG munafik, SERING munafik, atau SELALU munafik. Ibarat warna, putih seratus persen dapat dianggap simbol orang yang tidak munafik; abu-abu untuk yang PERNAH berbohong; agak hitam untuk yang SERING berbohong; dan hitam legam untuk yang SELALU berbohong.
Apa hubungan antara integritas dan kemunafikan? Mungkin ini, integritas adalah musuh kemunafikan, atau sebaliknya. Artinya, saya tidak bisa membangun integritas sambil mempertahankan kemunafikan saya. Saya harus meninggalkan yang satu untuk mengembang-kan yang lain. Seumpama menentukan arah berjalan, saya tidak bisa memilih ke timur dan barat sekaligus.
Lebih lanjut, pembelajaran di sekolah kehidupan memperhadapkan saya dengan kenyataan ini: tidak sulit untuk bersepakat bahwa integritas adalah salah satu karakter terpuji, sementara munafik adalah salah satu karakter tercela; yang sulit adalah mendemonstrasikan karaker terpuji secara konsisten dalam seluruh aspek kehidupan. Dengan lain perkataan, menjadi seseorang yang punya integritas tinggi [baca: nyaris tak pernah berdusta; selalu menepati janji dan menjaga rahasia; dan memegang teguh amanah dari orangtua/atasan/ organisasi/dsb], itulah yang sulit.
* * * *
Pada level personal, salah satu kemunafikan yang pernah saya tunjukkan dalam hidup adalah ketika saya mengecewakan harapan orangtua saya [baca; mengkhianati kepercayaan mereka]. Waktu itu saya baru saja menjadi remaja perantauan yang menuntut ilmu di Yogyakarta. Sejumlah uang kiriman orangtua untuk membayar uang sekolah selama satu tahun, saya selewengkan untuk bersenang-senang. Saya pikir hal ini nanti dapat saya atasi dengan membayar secara bulanan dari uang belanja yang dikirim reguler. Nyatanya sampai bulan ke sembilan, saya belum pernah membayar uang sekolah sekali pun.
Pihak sekolah lalu mengirimkan pemberitahuan kepada orangtua saya di Curup, Bengkulu. Menerima surat tersebut, ayah saya berang bukan kepalang. Ia menelepon dan menyuruh saya pulang. Saya ingat kata-katanya yang sangat keras, “Pulang saja kamu. Buat apa sekolah, kalau kamu tidak bisa dipercaya. Jika kamu tak bisa dipercaya, maka kepintaran setinggi apapun yang kamu peroleh akan membahayakan orang lain nanti. Pulang saja kamu, jadi supir angkot disini.”
Andai almarhumah Ibu saya tidak turun tangan, maka boleh jadi sejak saat itu saya tidak akan mendapatkan kiriman uang lagi, kecuali ongkos untuk mudik ke kota kelahiran saya. Untunglah hal itu akhirnya dimaafkan oleh orangtua saya. Dan saya tidak pernah melupakan pelajaran semacam itu.
Pengalaman pahit itu mengajarkan kepada saya bahwa integritas diperlukan untuk mendapatkan kepercayaan pihak lain. Namun, bukan cuma integritas. Untuk dapat dipercaya, saya juga mesti memiliki kecakapan. Dalam kasus saya di atas, kecakapan yang dituntut adalah cakap mengelola keuangan agar dapat memenuhi sejumlah kebutuhan hidup dalam segala keterbatasan yang ada.
Pada level organisasi, soal integritas ini saya pelajari antara lain dari seorang entrepreneur yang bermukim di kota Solo. Namanya Djoenaedi Joesoef, pemilik dan pengelola PT Konimex. Tahun lalu, kantor akuntan public Ernst & Young, menobatkan Pak Djoen sebagai Indonesia Entrepreneur of The Year 2003. Dan dari sejumlah publikasi media saya mengetahui bahwa Pak Djoen menetapkan kebijakan perusahaan untuk membayar semua kewajiban kepada para pemasok di Konimex secara tepat waktu.